Rabu, 23 November 2011

Kamis, 17 November 2011

teori realita


Teori Realita
Teori realita diperkenalkan oleh William Glasser.Istilah terapi realita pertama kali digunakan Oleh Glasser ketiek ia mengajukan makalah dengan judul :Reality Theraphy ,A Realistic Approach to the young offender,pada suatu pertemuan mengenai kriminologi pada bulan April 1964.Setahun kemudian terbitlah bukunya sebagai buku dasar dalam terapi realita dengan judul: Reality Therapy: A New Approach to Psychiatry.Pada tahun 1968,Glasser mendirikan Institute for Reality Therapy di Los Angeles,kemudian berdiri pula William Glasser LaVerne collage center university or laVerne,Southerb California,sebagai tempat pendidikan dan pelatihan tambahan bagi para guru.
Dasar Dan Teknik Terapi Realita
Terapi realita bertitik tolak pada paham dasar bahwa manusia memilih perilakunya sendiri dan karena itu ia bertanggung jawab,bukan hanya terhadap apa yang ia lakukan , tetapi juga terhadap apa yang ia pikirkan.Maka terapi realita bertujuan untuk memberikan kemungkinan dan kesempatan kepada konseli,agar ia bisa mengembangkan kekuatan-kekuatan psikis yang dimilikinya untuk menilai perilakunya sekarang dan apabila perilakunya tidak dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhannya,maka perlu memperolleh perilaku baru yang lebih efektif.Mengenai kebutuhan,menurut Bassin (1980) justru secara singkat menjadi landasan pada terapi realita,karena pada pandangan terapi realita orang memiliki dua kebutuhan dasar, yakni :
1.      Kebutuhan akan kasih sayang,kebutuhan yang terus-menerus mencari pemuasannya melalui berbagai bentuknya.
2.      Kebutuhan untuk merasa diriberguna,memiliki harga diri dan kehormatan,yang sama dan saling menunjang dengan kebutuhan akan kasih sayang di atas.
Terapi dengan pendekatan terapi realita bekerja secara aktif membantu konseli memenuhi kebutuhan-kebutuhan ini.Terapi realita memusatkan perhatian pada perbuatan atau tindakan sekarang dan pikiran yang menjadi dasarnya,bukan pada pemahaman,perasaan,pengalaman yang sudah lewat atau ketidaksadaran.Dalam uraiannya,Glasser (1989) mempergunakan konsep perilaku sebagai keseluruhan (total behavior) yang terdiri dari empat komponen,yakni :
1)      Tindakan (doing) seperti bangun tidur dan berangkat kerja.
2)      Pikiran (thinking) seperti isi pikiran dan pernyataan diri.
3)      Perasaan (feeling) seperti marah,gembira,sakit,cemas.
4)      Kefaalan (physiological) seperti berkeringat atau gejala psikomatik.
Meskipun keempat komponen ini bersama-sama membentuk perilaku sebagai keseluruhan,pada dasarnya salah satu komponen lebih berfungsi dari pada lainnya.Dari dasar ini kemudian muncul teori pengendalian (control theory).Tujuan umum dari terapi realita adalah agar konseli menemukan jalan yang lebih efektif untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhannya.Ini meliputi kegiatan terhadap konseli agar memeriksa apa yang ia lakukan,apa yang ia pikir,yang ia rasakan untuk menunjukkan apakah ada jalan lain yang dapat berfungsi lebihbaik.Konselor menekankan apa yang diketahui konseli dalam meningkatkan pemahamannya dan ketika konseli memahami tindakan atau perilaku yang tidak efektif,konseli mempergunakan kemampuan pengendaliannya ( sesuai dengan teori pengendalian,control theory),tetrhadap lingkungannya untuk kemudian membukakan diri dalam mempelajari alternatif lain untuk bertindak atau berperilaku.Teori pengendalian diri menjadi penting,karena pada terapi realita,konseli diarahkan agar menilai diri sendiri,apakah keinginan-keinginannya realistis dan apakah perilakunya membantu untuk memenuhinya.Konseli harus bertanggung jawab,mengendalikan kehidupan dan menghadapi akibat-akibat dari tindakan atau perbuatannya sendiri.
Dengan dasar-dasar inilah terlihat jelas perbedaannya dengan pendekatan tradisional,pendekatan psikodinamik atau lebih khusus lagi pendekatan psikoanalisis.Glasser menunjukkan perbedaan-perbedaan ini yakni :
1)      Dalam kaitan dengan gangguan mental,pendapat tradisional akan mengatakan bahwa seseorang berperilaku tidak bertanggung jawab karena ia menderita gangguan mental.Glasser mengatakan bahwa orang menderita gangguan mental karena ia bertindak tidak bertanggungjawab.
2)      Terapi realita menekankan pada masalh moral antara benar dan salah yang harus dihadapkan sebagai kenyataan kepada konseli.Berbeda dengan pendekatn psikoanalisis yang menghindari percakapan mengenai sesuatu yang salah,yang tidak enak,agar tidak menambah konflik internal yang tidak terselesaikan,seperti rasa bersalah (guilty feeling).
3)      Kejadian atau pengalaman yang sudah lewat tidak diperhatikan karena pembicaraan pada terapi realita diarahkan pada penilaian bagaiman perilakusekarang dapat memenuhi kebutuhan konseli.Apabila perilaku sekarang tidak berfungsi sebagaimana diharapkan ,dicari kemungkinan perilaku lain sebagai alteernatif dan konseli diminta berjanji akan mengubahnya.Sangat berbeda dengan pendekatan psikoanalisis yang menekankan pentingnya masa lalu,misalnya,pengalaman traumatik pada waktu kecil.
4)      Kalau pada pendekatan psikoanalisis ditekankan perlunya transferens,maka pada terapi realita hal ini tidak  penting.Hubungan antara konselor dengan klien berlangsung dalam suasana hangat,namun konselor tetap sebagai konselor,yang dalam suasana tertentu bisa bertindak sebagagi pendidik atau guru,sebagaimana Glasser sendiri mengatakan,bahwa terapi realita adalah proses pengajaran (teaching process) dan bukan proses penyembuhan (healing process).
5)      Faktor ketidaksadaran tidak diperhatikan,karena pada terapi ini lebih memperhatikan pendekatan untuk mengetahui “apa”-nya daripada “mengapa”-nya.Sesuatu yang justru menjadi faktor penting pada pendekatan tradisional,psikoanalisis.